
Bagi bangsa Indonesia, keagamaan diyakini takdir tuhan. Tidak ada yang minta untuk berbeda melainkan kehendak sang pencipta. Sehingga keragaman dalam beragama itu adalah suatu keniscayaan. Jangankan antar agama, internal umat beragama pun terdapat beragam paham, pendapat, sekte dan aliran yang satu sama lain juga banyak perbedaan. Sehingga dibutuhkan satu konsep yang dapat dijadikan perekat dan pemersatu dari keragaman beragama tersebut. Mederasi beragama adalah sebuah perspektif atau khazanah berfikir dalam menyikapi adanya keragaman beragama dan paham keagamaan. Secara bahasa moderasi berasal dari akar kata moderat yang berarti sedang atau tengahan, tidak kelebihan dan tidak kekurangan. Bisa juga diartikan penguasaan diri, bersikap wajar, biasa – biasa saja, tidak ekstrim, toleran dan mengedepankan keseimbangan. Dalam Islam dimaknai dengan tawasuth atau wasathiyah (Islam washiyah) yang berarti tengahan atau berimbang dan toleran. Allah SWT berfirman, “dan yang demikian ini kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan (ummatan wasthan) agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian (QS. Al Baqarah : 143). “tutur KH. Drs. Muhammad Annas. L (pengurus FKUB dan Ketua Umum MUI Tarakan)
Salah satu kerawanan yang berpotensi terjadinya konflik antar umat beragama adalah persoalan pembangunan rumah ibadah. Banyak contoh kasus yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia tak terkecuali di kota Tarakan dan kabupaten lainnya di wilayah Kalimantan Utara. Sehingga dipandang perlu mensosialisasikan peraturan Bersama (PBM) Menteri Agama dan menteri dalam negeri nomor 9 dan 8 tahun 2006 yang mengatur tentang kerukunan umat beragama dan ketentuan persyaratan mendirikan rumah ibadah.
Membangun rumah ibadah harus berdasarkan kebutuhan nyata demi tersedia sarana tempat beribadah bagi pemeluk agamanya. Mengacu pada ketentuan PBM tersebut bab IV dan bab V, maka harus ada minimal 90 orang seagama sebagai pengguna rumah ibadah yang dibuktikan dengan daftar nama dan KTP masing-masing yang bersangkutan. Dan dilokasi yang akan didirikan rumah ibadah tersebut harus mendapatkan dukungan minimal 60 orang warga sekitar, baik seagama maupun tidak seagama yang dibuktikan dengan daftar nama dan KTP masing-masing yang bersangkutan. Persyaratan ini bukan dimaksudkan untuk mempersulit umat beragama dalam menunaikan ibadah, melainkan untuk menghindari komplain dari warga yang tidak menerima adanya pembangunan rumah ibadah tersebut. Setiap umat beragama tentu ingin beribadah dengan tenang dan khusyuk. Mereka ingin beribadah tidak dalam kecemasan atau kekhawatiran karena adanya gangguan dari pihak manapun. Untuk itulah perlunya rumah ibadah dibangun dengan senantiasa memperhatikan syarat dan petunjuk teknis yang sudah diatur oleh pemerintah. “menurut H. Syamsi Sarman, S.Pd. (Sekum FKUB Tarakan).
Untuk itulah, FKUB mensosialisasikan PBM tersebut kepada masyarakat melalui ketua RT dan pengurus rumah ibadah agar menjadi pengetahuan bersama dan pedoman yang harus dipatuhi oleh semua anggota masyarakat. Ketua RT sebagai ujung tombak dan perpanjangan tangan pemerintah, sementara pengurus rumah ibadah sebagai lembaga umat yang sehari-harinya bersentuhan langsung dengan umat. Dari sosialisasi ini diharapkan potensi konflik antar umat beragama serta sikap dan tindakan radikalisme dapat dicegah sejak dini sehingga masyarakat dapat menikmati kerukunan dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. “tutupnya.